Agar Amal Tak Jadi Buih

Bismillaah... catatan kali ini semoga tidak mengesankan untuk menggurui orang lain. Sebab diri ini masih perlu terus belajar.

Ada satu pesan di inbox FB saya, seorang sahabat menanyakan materi kultum yang saya sampaikan ramadhan tahun lalau di masjidnya. Alhamdulillah, David, sahabat saya itu, masih ingat poin-poin dari apa yang saya sampaikan, hanya saja masih butuh penjelasan kembali.


Ramadhan kemarin, saya menyampaikan materi tentang bekal yang harus dimiliki dalam beribadah. Berlomba di atas bumi yang semakin renta. Layaknya orang lomba, tentu ada aturan yang wajib dipatuhi. Jika diabaikan, bisa-bisa kita akan di-diskualifikasi, alias dikeluarkan dari lomba. Hasilnya yang kita peroleh menjadi sia-sia. Lalu apa saja aturan yang perlu kita patuhi itu?

Pertama, mendaftarkan diri. Kalo kita ingin ikut lomba, kita wajib mendaftar untuk memperoleh nomer urut, atau paling tidak nama kita tercatat sebagai peserta. Sehebat apapun kita mengikuti lomba, kalau tidak terdaftar, tidak akan mungkin menjadi juara. Dalam ibadah, pendaftaran itu berupa kalimat syahadat. Atau kita mengenalnya 'puncak' dari Iman. Allah menegaskan, amalan orang yang tidak beriman/kafir layaknya fatamorgana.

"Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya." (An Nuur: 39)

Itulah pentingnya iman (saya menyebutnya, I level satu)

Kedua, untuk memunculkan potensi maksimal dalam diri diperlukan niat. Niat bukan hanya di awal laga melainkan tetap terjaga bahkan sampai saat perlombaan berakhir. Agar tidak merasa ditekan, dipaksa atau dijebak, tapi timbul dari kesadaran diri mengikuti lomba. Inilah 'ikhlas', saya menyebutnya, 'I' level dua.

"Dengan ikhlas kepada Allah, tidak mempersekutukan sesuatu dengan Dia. Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh." (Al Hajj: 31)

Ketiga, untuk menjadi peserta yang baik dan diakui, kita butuh ilmu. Agar tahu mana yang menjadi larangan, mana yang diperbolehkan, kapan harus mulai lomba, kapan harus berhenti lomba, ke mana tujuannya, dan sebagainya. Demikian juga dalam ibadah, agar tahu mana amal yang harus didahulukan, apa saja syarat sahnya, yang membatalkan dan sebagainya. Untuk mengetahui semua itu perlu ilmu. Saya menyebutnya, 'I' level tiga.

Begitu pentingnya ilmu, sampai-sampai Umar bin Khattab mengungkapkan, “Kematian seorang ahli ilmu jauh lebih baik daripada kematian seribu ahli ibadah yang tak mengerti halal dan haram.”

Keempat, seorang pemenang adalah mereka yang bisa konsisten menjaga ritme dalam jalur para pemenang. Tidak mudah tergoda apalagi tergiur dengan persoalan yang menggelincirkan keluar dari jalur pemenang. Dalam beribadah pun begitu, amal yang sedikit dilakukan dengan konsisten lebih baik ketimbang amal yang banyak tetapi jarang-jarang dilakukan. Membaca satu ayat setiap hari lebih baik ketimbang membaca 30 ayat kemudian baru membaca lagi satu bulan berikutnya. Konsisten, dalam khazanah Islam dikenal juga dengan istilah, istiqomah. Saya menyebutnya, 'I' level empat.

Dari Abu Sufyan bin Abdillah Radhiallahu ‘anhu berkata, "Aku telah berkata, 'Wahai Rasulullah katakanlah kepadaku pesan dalam Islam sehingga aku tidak perlu berkata pada orang lain selain engkau.' Nabi menjawab,'Katakanlah aku telah beriman kepada Allah kemudian beristiqomahlah.'”

Jika empat level 'I' tersebut telah terpenuhi. InsyaAllah amal yang kita kerjakan tidak akan menjadi buih.

(Terima kasih kepada Mas David Ade Wijaya yang telah mendorong saya untuk menuliskan lagi materi dalam note ini, semoga bermanfaat juga untuk yang lain)

Tidak ada komentar untuk "Agar Amal Tak Jadi Buih"