Penjual Dawet Itu Kini Entah Kemana
Azizah Nurul Azkia |
[esp] - Sebagai
pengganti es krim, saya biasa membelikan dawet untuk Azizah, putri saya yang
usianya kini hampir 2,5 tahun. Maklum tingkat keminatannya dengan es krim sudah
lumayan akut. Tapi alhamdulillah sedikit demi sedikit bisa terkikis dengan
mengalihkan ke subtitusi berbahan lokal. Dawet. Minuman lokal dengan bahan dari
tepung pohon aren (mirip dengan sagu) atau kalau zaman dulu terbuat dari tepung
ganyong (canna discolor). Tetapi karena tanaman ganyong semakin langka, kini
cendol dawet lebih banyak dibuat dari tepung pohon aren. Tepung itu kemudian
diolah dan menjadi cendol.
Selain cendol, dawet biasanya juga diberi
santan dari kelapa dan juruh yang terbuat dari gula jawa/gula kelapa yang
dilarutkan dengan air. Bahan-bahan itu kemudian dicampur dan jadilah minuman
berbahan alami dan enak untuk dinikmati. Akhir-akhir ini apalagi pada musim
kemarau, kita bisa menemukan banyak penjual dawet di pinggir jalan. Sebuah
usaha wirasawasta yang patut mendapat apresiasi. Kemandirian mereka patut
mendapat simpati.
Nah, dengan mengganti konsumsi es krim ke
dawet, saya berharap bisa ikut menghargai produk lokal. Ikut mensuport
pemberdayaan masyarakat. Toh nilai gizi pada dawet juga tak kalah jauh dengan
es krim. Bahkan saya percaya dawet yang biasa kami beli tanpa pewarna, pengawet
atau pemanis buatan.
Penjual dawet itu seorang ibu, biasa
menunggu konsumen ditemani anaknya yang masih kecil. Di sela-sela waktunya,
beliau sengaja membawa bambu untuk dibuat menjadi bahan anyaman. Betapa
kreatifnya ibu itu. Awalnya saya membeli dawet di sana karena penjual yang
biasanya sedang tidak jualan. Maka saya ajak Azizah membeli ke tempat ibu itu.
Sekali waktu, ibu itu tidak mempunyai uang kembalian. Beliau hendak menukar ke
toko yang ada di sekitar tempat itu. Saya mencegahnya. Saya katakan, agar
dibawa saja dulu, lain waktu saya membeli dawet lagi di sini. Dan benar di lain
waktu saya kembali ke sana dan meminta kembalian yang dulu ditukar dengan
dawet.
Pada kesempatan lain, saya membeli lagi di
sana. Mungkin karena baru saja buka, ibu itu belum mempunyai kembalian. Maka
saya katakan, agar disimpan dulu. Ibu itu rupanya hafal dengan saya, tidak enak
karena tempo hari juga tidak punya kembalian untuk saya. Bermaksud menyuruh
putrinya untuk menukarkan uang. Tapi saya kembali memintanya untuk menyimpannya
dulu.
Dan kini, beberapa kali saya hendak
bermaksud membeli dawet di sana, ternyata ibu itu tidak terlihat. Semoga,
beliau tetap diberi kesehatan dan bisa berjualan kembali. Mendapatkan
keberkahan rizki dari apa yang beliau usahakan. Bangsa ini butuh insan-insan
mandiri. Mari hargai mereka, berbagi dengan membeli.