‘Tersesat’ di UIN Yogyakarta
[Catatan] – Saya seperti tersesat di UIN
(Universitas Islam Negeri), ketika itu masih bernama IAIN (Institut Agama Islam
Negeri) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Tak pernah terpikir saya akan tinggal lama
di kampus ini untuk bergelut dengan bahan pustaka dan bergaul dengan para
cendekia. Awalnya saya hendak mendaftar di UGM, pas daftar UMPTN bersama
seorang sahabat, ternyata antriannya mengular cukup panjang. Daya tahan saya
untuk mengantri memang tipis jadinya saya putar haluan, pulang ke rumah.
www.ekotriyanto.com |
Pada hari terakhir pendaftaran UMPTN,
saya bermaksud ke UGM lagi, siapa tahu hari terakhir agak sepi, apalagi ini
hari jumat. Maka saya minta tolong ke Om saya untuk mengantar. Di perjalanan
sambil ngobrol, Om saya bercerita tentang IAIN, tentang saudara saya lain yang
juga pernah kuliah di sana dan sebagainya. Akhirnya kami sepakat, sebelum ke
UGM ke IAIN dulu. Waktu memang masih pagi saat itu. Bahkan sampai di IAIN masih
cukup sepi. Inilah untuk pertama kalinya saya melihat kampus IAIN. Saat membaca
papan pengumuman tentang penerimaan mahasiswa baru, seorang mahasiswa
menghampiri saya, menerangkan ini-itu dan mengajak saya untuk melihat stand
yang memang telah disiapkan.
Singkat cerita, saya dibujuk untuk
mendaftar di IAIN. Saya masih buta tentang IAIN apalagi jurusan yang ada. Pilihan
saya ketika akan kuliah adalah Matematika dan Bahasa Inggris, waktu itu memang
masih bebas tak tergantung jurusan saat SMA. Setelah jurusan Bahasa Inggris tak
ada, pilihan jatuh ke Matematika. Tapi ternyata ada jurusan yang lebih favorit
di IAIN yakni Pendidikan Agama Islam (PAI) jadilah saya memilih 3 jurusan
sekaligus, PAI, Matematika dan KPI. Untuk jurusan terakhir, ini saya masih blank
hanya saja mas mahasiswa bilang, di jurusan ini Bahasa Inggrisnya banyak. Saya pikir
belajar di manapun akan sangat tergantung pada manusianya bukan kampusnya. Maka
saat itu saya putuskan mendaftar di IAIN dan urung ke UGM.
Apakah masalah selesai? Tidak! Ternyata
hari ini terakhir pendaftaran. Di papan tata tertib jelas tertera, pendaftar
harus berpakaian sopan, tak memakai kaos oblong. Lha saya? He he. Akhirnya saya
pun tukaran kostum dengan Om saya yang waktu itu memakai baju. Karena sesama
lelaki jadi cukup simpel, cukup cari lokasi sepi dan wuss, bergantilah kostum. Masalah
belum berhenti, tanya sana-sini, mas nya menyarankan agar saya ikut try out
masuk IAIN. Menyadari keterbatasan pengetahuan saya tentang agama, apalagi
dalam hal Bahasa Arab, saya terima tawaran itu. Saya mengikuti try out selama
dua hari di sebuah masjid di timur IAIN.
Sampai hari ujian datang. Dengan penuh
percaya diri menjawab soal-soal yang ada, dan benar saja saya termasuk yang
awal-awal selesai dan keluar ruangan. Bukan karena yakin benar, tapi karena
sudah mentok mau pilih jawaban apalagi. Di hari pengumuman, bisa diprediksi apa
hasilnya. PAI, nama tak ada. Matematika, sama. KPI, sampai urutan kesekian
tetap tak ada. Sampai saya temukan nama saya di bagian agak bawah. Dalam pembagian
kelas saya masuk KPI kelas C. Artinya? He he
Mulai saat itulah saya resmi menjadi
mahasiswa sebuah perguruan tinggi yang tak terkenal di Yogyakarta. Seorang anak
buruh tani yang digadang-gadang menjadi polisi ternyata memilih untuk menjadi
mahasiswa. Sebagai konsekuensi pilihan kuliah saya pun mesti cari kerja dan selan
beberapa hari lagi saya resmi Menjadi Sales Krupuk Singkong Keliling.
[et.com]
Tidak ada komentar untuk "‘Tersesat’ di UIN Yogyakarta"
Posting Komentar