Kemakmuran Tanpa Keadilan

Ketika tersiar kabar seorang rektor bergelar guru besar melakukan korupsi. Saya merasa memang benar-benar ada yang geseh dengan negeriku. Jika pimpinan sebuah institusi yang semestinya menjunjung karakter cendekiawan ternyata korupsi, lantas apalagi yang mau diharapkan. Mirisnya lagi, uang yang diterima diduga dari orang yang rela menyuap agar bisa begelar mahasiswa.



Lantas saya berbincang dengan seorang teman. Itulah mengapa kadang saya merasa seorang petani yang menanam singkong bisa jadi lebih berharga di mata Tuhan.

Sayangnya, sekarang semua dihitung serba uang. Seorang petani singkong tidak lagi cukup bertahan hidup hanya dengan mengisi perut. Ada listrik yang harus dibayar, tak boleh telat. Ada pajak bumi dan bangunan yang mesti dibayarkan setiap tahun. Jika di pedesaan mungkin tidak terasa, tetapi bagi pemilik lahan di pinggir jalan, apalagi di Ringroad, jika tidak menabung untuk keperluan pajak bisa wasalam. Akhirnya merelakan lahan untuk dijual ketimbang tombok setiap tahun.

Seringkali ekonomi hanya dilihat dari pertumbuhan. Menurut data BPS, untuk triwulan II-2022 terhadap triwulan II-2021 tumbuh sebesar 5,44 persen. Jika hanya berpatokan dengan angka ini tentu sangat melegakan. Persoalannya, ekonomi siapa yang tumbuh? Ketika yang kaya semakin kaya, dan yang miskin kian miskin. Ketika mayoritas kekayaan negeri dikuasai segelintir orang saja. Apa yang bisa dibanggakan?

Dalam Islam, ekonomi diharapkan tidak hanya tumbuh (growth) melainkan juga tercipta persamaan/keadilan (equality). Sehingga disebutkan dalam Alquran, “…Agar harta itu jangan hanya berputar di golongan yang kaya di antara kamu…” (QS Al Hasyr (59) :7)

Dengan kemakmuran yang berkeadilan, diharapkan tidak ada lagi para pendusta agama. Yang menghardik anak yatim, dan enggan memberi makan kepada orang miskin. Padahal orang-orang berharta itu memiliki kemampuan dan kecukupan.

Ketimpangan menjadi problem yang akut, tetapi juga jarang diperhatikan. Karena fokus pembahasan tentang ekonomi lebih menarik soal pertumbuhan. Padahal menilik data dari Bank Dunia, tahun 2021 GINI index Indonesia mencapai 37,3.

Gini index diukur dalam rentang 0-100. Semakin mendekati angka 100 berarti ketimpangan semakin parah. Sebaliknya negara yang mampu mendekati angka 0, berarti mampu menciptakan ekonomi berkeadilan.

Bagi Anda warga Yogyakarta, lebih ironis lagi. Sebab GINI Index DIY, paling tinggi se-Indonesia. Pada Bulan Maret 2022 menempati urutan teratas dengan 0,439 melebih Jakarta dan Jawa Barat. Artinya berdasarkan angka tersebut, ketimpangan di DIY lebih parah ketimbang provinsi lain. Jogja istimewa khan?

Tidak ada komentar untuk " Kemakmuran Tanpa Keadilan"