“Bocah-bocah dimerdekakke pikire”
(Anak-anak dimerdekakan pikirannya). Sepenggal kalimat itu dilontarkan tokoh
Muhammadiyah dalam sebuah kongres pada tahun 1925. Demikian menurut tulisan
Mitsuo Nakamura, profesor asal Jepang yang banyak mengulas gerakan Islam modern
di Indonesia. Gagasan tersebut diejawantahkan dalam sistem pendidikan di
Sekolah Muhammadiyah pada tahun 1930-an sehingga mampu melahirkan kader-kader
bangsa yang melek huruf, nasionalis, teguh beriman, dapat berdaptasi dengan
kemajuan dan mahir dalam organisasi.
Tidak
terbatas menyasar kaum laki-laki, Muhammadiyah sejak awal juga memperhatikan
pendidikan untuk perempuan. Pada 1918 berdiri Standard School Muhammadiyah
setingkat dengan sekolah dasar lima tahun. Setahun kemudian dengan dorongan
Somodirdjo, seorang aktifis Muhammadiyah, sebagian siswi sekolah tersebut
membentuk kelompok Siswa Praya Wanita (SPW) yang pada akhirnya mengilhami
berdirinya Nasyiatul Aisyiah, satu di antara organisasi otonom Muhammadiyah. Sebelumnya,
pada 1914 dengan dukungan Kiai Ahmad Dahlan dan Siti Walidah terbentuk Sapa
Tresna, yang lingkup gerakannya tidak terbatas kepada para siswi, melainkan
untuk perempuan umum.
Diilhami oleh Surat An Nahl ayat 97, yang menyuratkan setiap diri memiliki tanggung jawab atas apa yang diperbuatnya, tidak peduli ia lelaki maupun perempuan. Kiai Ahmad Dahlan memandang perlunya memberi pendidikan agama kepada kaum perempuan.
Langkah awal yang dilakukannya bersama istri, ialah mengundang keluarga dan tetangga dekat mengajak diskusi tentang ayat tersebut. Setelah ada pemahaman yang sama, Muhammadiyah secara terbuka mengimbau kepada warganya untuk memberi kesempatan para istri dan anak perempuan mengakses pendidikan agama.
Baca Juga : Umat Islam Bangkit, Darimana Harus Memulai?
Dalam
literatur Jawa, yang kemudian menjadi panduan sebagian masyarakat seperti Serat
Baratayuda, Gatholoco, Wedatama, Pantisastra, Candrarini dan Centhini,
menyebutkan perempuan lebih diarahkan kepada peran domestik melayani suami,
mengurus rumah dan anak-anak. Bahkan dalam pepatah Jawa dikatakan, ‘Wadon iku
suwarga nunut, neraka katut’ dengan makna seorang perempuan dapat masuk surga
atau terjerumus ke neraka tergantung perbuatan suaminya. Kepatuhan terhadap
suami menjadi ajaran pokok yang harus dijalankan seorang perempuan.
Gerakan
memerdekakan pikiran yang dilakukan Muhammadiyah berhasil memberikan ruang bagi
perempuan untuk memperoleh pendidikan dan melakukan peran kemasyarakatan.
Termasuk aktif dalam kegiatan sosial kemanusiaan. Ketika Gunung Kelud meletus
pada 1918 yanng menyebabkan jatuhnya banyak korban dan mengakibatkan
penderitaan banyak orang. Perempuan Muhammadiyah ikut terlibat dalam inisiatif
pembentukan lembaga Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO) yang memberikan bantuan
kepada para korban.
Baca Juga : Kemakmuran yang Mewujud dalam Dua Tahun Lima Bulan
Anggota
Sapa Tresna dan Sapa Priya Wanita (SPW) aktif mengurusi dan merawat anak
yatim-piatu, atau berorang tua tunggal. Mereka diberi makan, tempat tinggal,
dan pendidikan. Sapa Tresna dan SPW jugar merangkul kelompok perempuan lain
untuk bersama-sama menjalankan misi kemanusiaan. Hingga kini, kiprah
memerdekakan pikiran yang dilakukan Sapa Tresna (‘Aisyiah) dan SPW (Nasyiatul
‘Aisyiah) terus dirasakan manfaatnya oleh banyak orang.
Deliar
Noer mencatat, pada 1925 Muhammadiyah telah berhasil mendirikan 32 standard
school, sekolah dasar lima tahun untuk bumiputra, 14 madrasah, 1 schakelschool,
sekolah lanjutan lima tahun, bagi lulusan standard school, 1 kweekschool,
sekolah tinggi guru, dan 8 Hollands-Inlandse school (HIS), sekolah dasar tujuh
tahun dengan mengadopsi kurikulum Belanda.
Tidak
berlebihan jika Mendikbud Nadiem Makarim menaruh hormat kepada Muhammadiyah, “Inilah
satu hal yang saya hormati mengenai organisasi ini, banyak sekali
pemimpin-pemimpin yang hanya berbicara mengenai berbagai macam impian dan
berbagai macam isi, tetapi Muhammadiyah
telah menujukkan bahwa dengan kelakuan dengan tindakan yang riil dia berhasil
menciptakan bakti sosial.” (Mendikbud Nadiem Makarim, dalam Resepsi Milad
Muhammadiyah 107, 18 November 2019 di Sportorium Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta). [e]
Referensi :
Pergolakan
Putri Islam, Perkembangan Wacana Jender dalam Nasyiatul ‘Aisyiah 1965-2005;
Siti Syamsiyatun, M.A. Ph.D., Yogyakarta, Suara Muhammadiyah, Cetakan I,
Agustus 2016;
Deliar
Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta, Pustaka LP3ES,
Cetakan kedelapan, Mei 1996)
0 comments: