Ketika Diam Bermakna Dusta

Kediaman kita ternyata bisa dimaknai sebagai dusta. Mirisnya, bukan hanya dusta atas sebuah informasi atau fakta, melainkan dusta terhadap agama. Kredibilitas pengungkap hal ini pun tidak tanggung-tanggung, penguasa alam semesta. Seperti tercantum dalam Surat Al Maun, “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin…” (QS 107 ayat 1-3)



Ketika ada saudara, tetangga, atau orang di sekitar kita yang mengalami kelaparan sedangkan kita mendiamkan saja, tidak memberikan makan, atau mengajak orang lain memberikan makan, ternyata bisa menjadi sebab masuk ke dalam golongan pendusta agama.

Jika kerabat telah jelas adanya. Maka ada tataran berikutnya berupa tetangga. Dalam literature Islam disebutkan beberapa batasan siapa saja yang termasuk tetangga. Jika menilik pendapat Al Uza’i, ada empat puluh rumah dari setiap arah. Artinya ada 40 rumah di utara, 40 rumah di timur, 40 rumah di selatan dan 40 rumah di barat. Total 160 rumah.

Sedang bila mengacu kepada pendapat Ali bin Abi Thalib ‘Siapa saja yang mendengar panggilan, maka dia adalah tetangga masjid’.

Kepada mereka ini diperintahkan untuk berbuat baik, termasuk menganjurkan memberi makan kepada mereka yang miskin. “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya-mu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri”. (An-Nisaa [4] : 36)

Jika terdapat 160 rumah, yang harus kita pastikan mereka tidak menderita kelaparan akibat kemiskinannya tentu tidak akan pernah ketemu jika kita tidak pernah bergaul dengan mereka. Melanjutkan tahap ta’aruf menuju tafahum kemudian berta’awun, saling menolong.

Saat peradaban mulai bergeser dengan interaksi melalu media sosial, sebetulnya menganjurkan memberi makan kepada orang-orang miskin bisa terbantu. Memanfaatkan media sosial untuk membentuk komunitas yang peduli sesama, mencari kawan berjiwa relawan dan dermawan. Atau sekedar mengabarkan kondisi tetangga yang butuh untuk dibantu.

Jangan sampai, saat diberi kemampuan membantu, kita tidak memberi makan orang miskin, tidak menganjurkan memberi makan kepada mereka namun justru rajin berbagi aneka foto sedang bersantap bersama keluarga di berbagai warung makan ternama. Mungkin ada kepuasan, tetapi perlu mawas diri agar ‘kediaman’ kita kepada fakir miskin tidak menjadi tiket masuk ke dalam golongan pendusta agama.

Barat || 24 Juni 2019

Tidak ada komentar untuk "Ketika Diam Bermakna Dusta"