Berburu Sunrise di Puncak Sikunir Dieng
Di ujung Januari, rupanya kami
datang di hari yang tepat. Sejak pertama sampai ke Dieng hujan tidak turun. Padahal
menurut cerita para pewisata yang pernah ke sini, hujan dan kabut seperti peneman
keseharian dataran tinggi Dieng. Kami menginap di homestay sederhana tidak jauh dari Candi Arjuna. Dengan kapasitas
sekitar 30-an orang, tempat ini lumayan recommended. Bersih, rapi, dilengkapi
TV dengan antena parabola sehingga siaran yang diterima jernih, meski chanel
terbatas. Di kamar mandi pun tersedia pemanas dengan tenaga gas LPG. Unik dan
kreatif.
Untuk melihat matahari terbit
di Puncak Sikunir kami harus menggunakan kendaraan. Bis kecil berkapasitas
sekitar 20 orang mengantar kami berpagi menuju lokasi. Jarum jam masih di angka
03.08 ketika kami berangkat. Menempuh perjalanan dalam gelap dan kabut, dengan
kontur jalanan berliku menanjak dan sempit. Tampak beberapa kendaraan lain yang
kesulitan menapaki rute. Mungkin belum terbiasa.
Sampai di lokasi, dingin
menyergap. Belum lagi angin yang kencang terus menerpa. Jaket dan segala
perlengkapan pakaian hangat yang kami kenakan seolah tak mampu menghalau hawa
dingin. Di lokasi parkir, tersedia banyak pedagang yang menawarkan perlengkapan,
mulai kaos tangan, kaos kaki, syal, jaket dan lainnya. Sehingga cukup membantu,
jika memang tidak persiapan dari awal.
Sekitar sepuluh menit
menunggu, kami beranjak naik. Melewati deretan warung dengan jalan paving blok.
Sebelum akhirnya menaiki undakan berbatu. Satu demi satu. Menurut pemandu
jumlah anak tangga yang mesti kami lalui ada sekitar 400 anak tangga. Hanya saja
beberapa bagian tidak berundak sehingga untuk sampai di Pos satu cukup menguras
energi.
Undakan berbatu yang agak
licin di tepi tebing dan penerangan yang minim mengharuskan kami untuk ekstra
hati-hati. Sekitar 25 menit kami sampai di pos satu. Di sini, telah antri
puluhan orang untuk shalat shubuh di sebuah mushalla yang kecil. Tempat wudhu
terbatas, sehingga mesti sabar. Sebagian lain memilih untuk tayamum.
Pos satu juga menjadi pilihan
bagi mereka yang tidak sanggup meneruskan perjalanan, di sini ada spot untuk
foto-foto sambil menanti matahari terbit. Bagi yang masih kuat, memilih
melanjutkan ke Pos dua. Jalan menuju ke sana lebih tidak beraturan, sebagian
undakan berbatu, sebagian tanjakan dengan tatanan batu cukup licin, sebagian
jalan becek, dan sebagian lagi undakan tanpa alas batu sehingga perlu bantuan
tali dan kayu untuk berpegangan.
Rutenya tidak terlalu panjang,
sekitar 20 menit kami sudah sampai di pos dua. Agak kebingungan karena ada
beberapa spot untuk menunggu sunrise
dan tidak ada petunjuk manakah yang menjadi puncak Sikunir. Tersedia musholla, bagi
yang belum shubuh di pos satu bisa shalat di sini. Cukup lama kami menunggu
matahari terbit. Duduk di atas bebatuan sembari merasakan hembusan hawa dingin.
Setelah sekitar satu jam
menunggu, akhirnya matahari menampakan sinarnya dari balik awan dan kabut. Tampak
sebentar kemudian hilang. Begitu berulang. Hingga kami putuskan turun, hanya
sebentar kami bisa menyaksikan sinar matahari. Perjalanan turun agak mendingan,
karena cuaca terang. Hanya tetap butuh kehati-hatian karena jalanan licin dan
sebagian undakan tanah belum diperkeras dengan batu.
Sepanjang perjalanan dari
bukit Sikunir ke tempat parkir tersedia banyak warung kuliner. Anda bisa
mencicipi aneka gorengan, olahan kentang ataupun minuman khas Dieng, Carica dan
Purwaceng. Atau memborong hasil pertanian paprica, kentang dan terong belanda. Kami
memutuskan untuk mencicipi gorengan ditemani secangkir kopi hitam di deretan
warung, seberang telaga Desa Sembungan.
Kelak, kami akan ceritakan
tentang Desa Sembungan. Negeri di atas awan yang dijuluki desa tertinggi di
Pulau Jawa.
Silakan untuk menikmati foto-foto : Tapak Demi Tapak Menuju Puncak Sikunir
Tidak ada komentar untuk "Berburu Sunrise di Puncak Sikunir Dieng"
Posting Komentar