Agama Tanpa Nama dan Negeri Agar-agar
Hari ini kita disuguhi beragam informasi
yang menyayat hati. Tentang kondisi negeri petani penuh ironi. Berita yang
menyesakkan, memisah persaudaraan menjadi dua bagian. Dua kubu saling beradu
bukan untuk menjadi nomor satu, melainkan sama-sama jadi debu. Jadi abu. Sebagai
orang awam yang seringkali gagal paham tentang kode jurnalistik dan etika
pembuatan berita, terkadang saya kecewa sebelum akhirnya tertawa. Sebab memang
semua bisa direkayasa asalkan ada biaya. Baru saja membaca berita tentang
wartawan yang demo di NTT, gegara APBD yang mencantumkan anggaran sekira 1,2 M untuk
stasiun TV yang telah tergadai, Metrx TV.
Jauh sebelum hiruk-pikuk pemilihan
presiden, tersebar kabar seorang tokoh beraliran Syiah akan diangkat jadi
menteri agama. Banyak yang protes dan menentang lewat media massa online dan
media sosial. Ketika akhirnya tak terwujud, para pendukung setia sang penguasa
pun tertawa dan mengolok-olok. Mana buktinya? Berita kalian tak benar!
Selepas itu, ada wacana penghapusan kolom
agama. sampai-sampai seorang penguasa ibukota menyindir, di Malaysia tidak ada
kolom agama di KTP. Kabar ini menyebar tanpa bisa dihentikan. Banyak reaksi,
kritik dan hujatan. Ketika akhirnya muncul gagasan pengosongan kolom agama. ini
gradenya dianggap lebih rendah dari penghapusan kolom agama, maka penguasa dan
pendukungnya pun merasa menang. Mana buktinya kolom agama akan dihapus? (Dan
mereka sukses menjalankannya)
Ini adalah semacam strategi, bagi saya
orang awam. Untuk mengukur seberapa kuat reaksi masyarakat. Jika kepedulian
kita tinggi dan hebatnya tingkat resistensi, maka isu itu akan dikembalikan
untuk menjatuhkan mereka yang peduli dengan cara mudah: membatalkan dan
mengucap #KataSiapa? Berbalikan, jika penolakan tak terdengar maka keputusan
pun akan dijalankan. Begitu akan terus berulang, sampai para pengkritik merasa
letih. Para pengamat mendapat penat. Akhirnya rakyat pun acuh tanpa ada
perhatian tertaruh.
Banyak isu akan terus dilempar, untuk
kemudian ditarik lagi. Untuk menampar para pengkritisi yang peduli pada negeri.
Pada nurani. Saya jadi teringat Ustadz Kodiran, teringat semangatnya untuk
berdakwah keliling negeri. Menguatkan para mualaf yang kembali ke Islam. Di usianya
yang melebihi 60 tahun, beliau biasa menyetir mobil sendiri dari satu kota ke
kota lain. Jika kebetulan pas di Magelang atau Yogya, beliau kadang menelepon
saya, untuk menemani beliau memberi kajian. Dalam satu bagian pendapatnya
beliau memaparkan akibat dari sekian yang ditimbulkan dengan pengosongan kolom
agama, yakni, jumlah umat Islam akan menurun secara drastis!
Orang-orang aliran kepercayaan yang
selama ini terpaksa menuliskan Islam di kolom agama mereka, akan memilih
mengosongkannya. Sehingga secara statistik jumlah umat Islam akan menurun. Setelah
itu? Banyak lagi akibat yang timbul, mulai aturan-aturan yang tak lagi menempatkan
Islam sebagai mayoritas, pemangkasan anggaran dan lain-lain. Ini baru episode
satu. Jika sukses akan ada episode berikutnya untuk semakin mengkerdilkan umat
Islam.
Dalam sisi lain, pernyataan Ustadz
Kodiran yang menarik ialah, mengapa orang keturunan China lebih banyak yang
memilih menjadi Kristen dan bukan Islam? Ternyata ini berkaitan erat dengan pemisahan
kasta di zaman penjajahan Belanda. Para penjajah yang Kristen dianggap kasta
tertinggi, kemudian orang China dan terakhir Islam pribumi. Maka dalam benak
mereka lebih layak menjadi Kristen ketimbang kembali ke Islam.
Negeri Agar-agar
Bubuk agar-agar yang dicampur air
kemudian dimasak, setelah dibiarkan dingin ia akan mengeras. Jika dibiarkan
terus ia akan kembali berair. Meski mungkin tak akan menjadi air atau kembali
ke bubuk. Begitu saya mengibaratkan kondisi sebuah negeri para petani. Mereka sedang
di tes dengan berbagai isu ‘panas’ sampai mereka benar-benar puas dan lemas. Mereka
mabuk oleh situasi dan pernyataan beracun. Mereka terpecah dan sama-sama keras.
Untuk selanjutnya tak mungkin lagi kondisi itu kembali seperti semula. Sulit rasanya
untuk bisa kembali cair. Sebab semua kubu sama-sama saling membatu.
Wahai yang bernurani, sadarlah! Kita
sedang dihipnotis oleh media. Hingga ragu, manalagi yang bisa dipercaya. Untuk kemudian
memilih diam. Dalam temaram. Dalam dunia sendiri mengikis peduli. Sementara kue
negeri ini terus digerogoti. Kepada siapa kita harus percaya? Tidak ada pilihan
lagi, kembali kepada agama. Mendekat kepada para ‘ulama yang lurus. [e]
Tidak ada komentar untuk "Agama Tanpa Nama dan Negeri Agar-agar"
Posting Komentar