“Terpaksa” Memakai Baju Keki



Urusan seragam bisa menjadi rumit. Serumit pintalan kusut benang jahit. Dari dulu saya memang agak tidak semangat dengan urusan seragam. Bahkan waktu SMP, hampir setiap senin saya langganan dipercaya menerima hukuman dari Guru BP (coba tebak apa kepanjangan BP?). Dari mulai tak memakai topi, tanpa mengenakan kaos kaki, hingga warna ikat pinggang yang coklat, bukan hitam. Tak pelak, lapangan bola depan sekolah menjadi latihan rutin lari sehabis upacara. Sampai-sampai ketika menjadi komandan pleton saat upacara pun dipanggil ke tengah lapangan untuk menerima sangsi L



Ketika SMA tak jauh beda. Hanya saja saya mulai insaf dan tak menyalahi seragam lagi. Ssst... tetangga samping rumah ngajar di sana soalnya. Dan kadang nebeng kalau pas berangkat, jadi kalau mau mbeling agak... mikir... (dengan ekspresi cak lemper makan tongsis). Pas melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi (tepatnya lebih jauh). Kebiasaan kembali kumat, kali ini agak ekstrem, memakai sendal! Bayangkan, bukankah ini tidak menghargai dosen, diri sendiri dan ilmu? He he, tapi setahu saya dulu orang pinter malah gak pake sendal cari ilmunya, mereka duduk sorogan di dalam masjid atau madrasah tanpa alas kaki. Tapi baca, mereka malah lebih pinter dan ‘alim.

Beberapa dosen yang mewajibkan muridnya bersepatu kadang menerapkan sangsi tegas, memakai sendal berarti siap keluar. Untuk dosen tipe begini, saya ngalahi duduk agak belakang, biar gak ketahuan J Dan meski bersendal, toh saya tetep bisa lulus, meski bukan assabiqunal awwalun tapi tidak juga masuk assabiqunal akhirun apalagi assabiqunal DO un.

Cerita berlanjut ketika saya mengajar di beberapa sekolah, sebagai pejuang tanpa tanda jasa dalam arti sebenarnya. Arti sebenarnya yaitu, ngajar dengan bayaran honor seadanya. Masih suka dengan kebiasaan tanpa seragam, hanya saja karena kasihan kepada saya, maka Pak/Bu Kepala tidak menegur. Mungkin mereka paham, stok baju terbatas dan HR tak cukup untuk beli seragam.

Cerita berlanjut, ketika saya ditugaskan di sebuah instansi milik pemerintah. Satu-dua-tiga bulan ternyata tak sadar juga. Tetep menggunakan baju ala kadarnya, tak berseragam. Sampai suatu ketika dipanggil atasan.... dan .... diminta memakai pakaian keki khas pegawai negeri. Waduh, padahal beberapa hari sebelumnya saya menolak pemberian seorang tetangga yang mau ngasih kain bahan baju keki. Yah, terpaksa, akhirnya menjahitkan baju keki. Hmm... selamat berseragam!


Seragam, kadang memang perlu untuk memperlihakan kekompakan. Menghindarkan persaingan, dan adu pameran. Meski kadang esensi seragam menjadi tak bermakna jika tak berdampak apapun pada kerja dan kinerja. Bahkan bisa juga memunculkan persaingan baru, persaingan model jahitan J

Tidak ada komentar untuk "“Terpaksa” Memakai Baju Keki"