Catatan dari Barat : Memperdebatkan Debat
Saya tergelitik menuliskan
catatan ini. Teringat sekitar satu pekan lalu ketika bersama kawan berembug
soal pembentukan Bumdes alias Badan Usaha Milik Desa. Selama dua hari satu malam
mengasingkan diri dari keramaian, menetap di seputaran Bligo, hulunya Selokan
Mataram.
Bentuk Penyajian di Hotel Kawasan BSD: Efisien dan Ramah Lingkungan |
Di sela obrolan di ruang
makan, bakda rapat pleno pertama, seorang datang dan tetiba membincang soal
perusakan bendera partai yang terpasang di pinggir jalan. Satu kawan di samping
saya adalah anggota panwas, kemudian menjelaskan. Pertama bendera partai bukan
alat peraga kampanye (APK), kedua pemasangan bendera yang di pepohonan jelas
menyalahi aturan.
Meski begitu perusakan bendera
oleh oknum juga bukan perilaku yang patut dibenarkan, karena ada pihak yang
lebih berwenang untuk menertibkan. Obrolah yang semula soal pengembangan
potensi desa beralih ke soal politik. Saya hanya menyimak, karena memang tidak
tahu perkara pastinya. Masih menurut kawan saya dari Panwas, kejadian demikian
tidak terjadi di Kecamatan tetangga. Kemudian ketika ada kesempatan saya
katakan, “Karena tidak ada pekerjaan dan hal lain yang perlu dipikirkan
sehingga urusan politik pun menjadi komoditas utama untuk dilakukan.”
Debat
Setelah Debat
Sesuai prediksi, usai debat
Capres-Cawapres media sosial ramai dengan perbincangan seputar acara tersebut. Para
pendukung masing-masing calon mencari titik lemah lawan, sekaligus titik unggul
jagoan. Pembahasan dari yang dingin sambil gurauan hingga berdebatan panas
berkepanjangan.
Padahal, seperti dirilis
beberapa jajak pendapat. Pengaruh debat, apalagi bagi para pendukung
masing-masing nyaris tak berdampak. Tentu mereka tidak akan berubah dengan
pilihan masing-masing. Sehingga debat tak ubahnya sebuah parodi untuk melihat
siapa dan apa yang bisa menjadi bahan gorengan, serta apa dan siapa yang siap
diorbitkan. Di sini peran media akan terasa.
Sehingga saya kadang
senyum-senyum saja mendengar, membaca dan melihat orang memperdebatkan debat. Sebuah
hal yang menurut saya ‘kurang gawean’ alias kurang kerjaan. Akan lebih efektif,
jika orientasinya mendulang suara, kalau mereka turun langsung ke masyarakat
untuk memilih jagoannya. Mengumpulkan emak-emak se-RT atau jamaah pengajian
se-kampung, kemudian dijelaskan tentang calon presidennya.
Cukup menarik pula menyimak perbedaan
pendapat tentang debat. Ada sebagian yang mengatakan debat dilarang dalam
agama. Meskipun sebagian yang mengatakan demikian juga ikut menyaksikan debat. Ups.
Tentang boleh tidaknyanya debat, banyak dalil dan fatwa ulama yang bisa
dicari-cari untuk membenarkan pendapat. Tidak usah diberdebatkan.
Dalam proses komunikasi,
setidaknya ada enam unsur penting: orang yang menyampaikan (komunikator),
pesan, saluran informasi, orang yang menerima pesan (komunikan), efek, dan
feedback. Maka efek debat Capres-Cawapres akan terasa jika satu unsur penting
dalam komunikasi memainkan perannya, ialah saluran informasi.
Saluran informasi (media
massa, tv, media online, media cetak) akan mengambil peran penting. Karena tidak
semua penerima pesan melihat langsung debat. Mereka lebih suka menyeksamai
potongan-potongan debat, atau diskusi di media sosial. Ketika media massa
memainkan perannya tidak bisa lagi dibendung. Soal segmen apa yang lebih ditonjolkan,
tokoh mana yang akan dipoles, dan siapa yang diorbitkan itu sudah ada di dalam
kantong para pemangku media.
Berbicara media massa,
idealisme boleh, tapi sulit menang melawan kebijakan redaksi. Kebijakan redaksi
biasanya manut atau sendika dhawuh dengan pemilik modal. Sehingga pada titik
ini bisa dikatakan, setiap media memiliki kebijakan dan hampir mustahil untuk
mengatakan tidak memiliki kepentingan. Netralitas media menjadi barang langka
di negeri ini.
Memperdebatkan debat, sekali
lagi bagi saya adalah suatu yang lucu. Akan lebih bagus kiranya, ketimbang
melakukan demikian, menyimak acara debat pilpres sebelumnya kemudian mencocokan
dengan debat kali ini. Adakah perbedaan dan persamaannya?
Wah itu sudah tidak relevan!
Tentu semua bisa berubah! Lihat itu janji dan realisasnya sama atau tidak!
Semua itu karena faktor ekonomi makro!
Yeah, debat lagi deh…
Selamat berdebat, jangan lupa
berjabat, semoga selalu sehat dan makiin dekat. Cut!
Barat, 19|1|2019
Tidak ada komentar untuk "Catatan dari Barat : Memperdebatkan Debat"
Posting Komentar