Mimpi Kota Kopi Menjadi Pusat Literasi


Sepekan di Pontianak lebih dari cukup bagi saya menangkap ‘keganjilan’ yang jarang ditemui di Jawa. Deretan warung kopi yang mendominasi sepanjang sisi jalan. Bahkan di satu tempat, Jalan Gajah Mada, dinamai Gajah Mada Coffe Street. Tampaknya warung kopi memang menjadi andalan kota ini.

Ngopi bersama kawan-kawan di Pontianak

Di malam awal, bersama seorang kawan menyempatkan mencari warung kopi paling jos. Dengan bantuan driver Go Car, ditunjukkanlah warung kopi yang konon pernah disinggahi orang-orang penting di nusantara. Dari banyaknya pengunjung yang datang, mungkin ratusan, menandakan warung ini memang terkenal dan laris. Untuk menikmati satu cangkis kopi saya mesti rela menunggu hampir setengah jam. Langsung bayar, dengan kisaran harga Rp 11 ribu per cangkir.

Ada rasa heran, bukan karena harga, melainkan betapa betahnya para pengunjung duduk berjam-jam ditemani satu cangkir kopi. Sebagian mengobrol, merokok. Sebagian banyak lainnya asyik bermain gadget. Saling membisu meski satu meja dengan kawan.

Kota Kopi Tanpa Kebun
Di hari selanjutnya saya diajak jagongan bersama kawan-kawan. Banyak berasal dari Jawa tetapi lama tinggal di Kalimantan Barat. Ada yang dari Ponorogo, Banyuwangi, Kebumen, dan Gunungkidul. Bercakap akrab, seperti saudara yang lama tidak berjumpa. Di tengah obrolah, seorang kawan menerangkan. Minum kopi (ngopi) telah menjadi kebiasaan banyak warga.

Rumusnya cukup unik. Bagi para pegawai kantoran, umumnya jam masuk kerja telah berada di kantor untuk melakukan presensi pagi. Setelah itu mereka mencari warung kopi untuk jagongan. Lama dan tidaknya tergantung situasi. Apa yang saya lihat seperti menggenapi kebenaran cerita itu. Selama ngopi saya melihat beberapa rombongan pegawai/karyawan dengan seragam mampir mencari makan atau ngopi. Sedang bagi para wirausahawan waktunya lebih fleskibel. Di Pontianak kita bisa menemukan warung kopi yang buka sebelum subuh.

Dari cerita seorang kawan, kopi-kopi itu ternyata tidak dihasilkan dari kebun kopi di sekitar Pontianak. Bahkan kota ini lebih di kenal dengan penghasil tanaman lidah buaya. Katanya, kopi-kopi didatangkan dari Sumatra dan Jawa.

Kopi Inspirasi
Jika membaca sejarah para ilmuwan zaman dulu, kita akan menemukan banyak dari mereka pun menyukai kopi. Bedanya, kopi-kopi itu menjadi teman dalam pembelajaran. Membaca atau menulis buku (kitab). Dalam laman sehatbersamaislam.blogspot.com disebutkan, kopi konon merupakan salah satu minuman yang digemari para ‘ulama, selain susu dan madu. Memiliki manfaat yang baik bagi kesehatan. Jika dikonsumsi secara teratur dan tidak berlebihan, kopi bisa menjaga kesehatan. Bahkan sebagian ‘ulama zaman dulu juga mengkonsumsi kopi untuk menambah kebugaran mereka saat belajar dan beribadah.

Dalam sebuah syair dilantunkan, “Kopi memang hitam tapi menyalakan semangat, bahkan memancarkan cahaya. Hitamnya kopi membuat hati orang-orang kelas tinggi memutih, sehingga mereka terpuji, melebihi kebanyakan manusia.”

Umat Islam ternyata juga  menjadi bagian dari ditemukannya kopi sebagai minuman yang banyak digemari orang.  Dalam sebuah manuskrip disebutkan, pada abad ke 15 kopi mulai dibawa oleh orang Yaman dari Ethiopia. Di Ethiopia sendiri kopi sudah dikenal sejak 800 sebelum masehi. Mereka mengkonsumsi kopi yang dicampur dengan anggur dan lemak hewan sebagai sumber protein dan energi. Sedangkan ilmuwan muslim Ar Razi dan Ibnu Sina mengungkapkan kopi telah dikenal di kalangan muslim sejak awal abad ke 10.

Kopi sendiri berasal dari bahasa Arab yakni qahwah yang berarti kekuatan, sebab memang kopi diyakini sebagai sumber energi. Kata qahwah berganti menjadi kahveh (Turki) dan koffie (Belanda). Ini yang kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi kopi.

Saya kemudian membayangkan, jika para penikmat kopi di sini menyeruput kopi sambal mengakrabi buku atau menuliskan ide-ide inspiratif mereka dalam lembaran kertas. Saya percaya, puluhan judul buku akan lahir di setiap harinya. Dan kota ini layak dipuji sebagai kota literasi.

Pontianak, 4 Agustus 2018


Tidak ada komentar untuk "Mimpi Kota Kopi Menjadi Pusat Literasi "