Sebelum Yogya Berhenti Nyaman
Malioboro dengan segala sisi uniknya seperti magnet yang menarik
wisatawan dari penjuru Nusantara untuk menapakinya. Tak kurang dari puluhan
lagi tercipta dari sebuah jalan yang tak terlalu panjang ini. Mulai dari lagu
renyah khas Doel Sumbang sampai dengan langgam campursari ala Didi Kempot. Doel
Sumbang, penyanyi kelahiran Bandung menawarkan irama ceria dalam lagunya,
Malioboro, berduet dengan Nini Carlina.
Sementara Didi Kempot, mengabadikan kisah di Malioboro lewat
tembang, Bangjo Malioboro, sebuah tembang yang sempat memenuhi request
radio-radio di seputaran Yogya, Jateng dan sekitarnya. Selain itu sederetan
musisi juga berkarya terinspirasi oleh Malioboro. Ini sebagian lirik tembang
Mas Didi Kempot,
Lampu bangjo ing prapatan Malioboro
Nganti wengi aku dewekan nok kono
Lalu lintas pating sliwer maniko warno
Do rak ngerti rasane ati ing dodo
Maliboro seksono lelakonku
Nganti saki tresnaku ro sliramu
Tansah tak siram tetesing eluhku
Nganti suk kapan sliramu eling aku....
Hanya saja saya masih bingung dengan maksud Mas Didi Kempot dengan bangjo
(traffic light) di perempatan Malioboro. Mungkinkah yang dia maksud adalah
titik nol kilometer alias perempatan kantor pos? Entahlah.
Dan.... yang pengen saya bahas sejatinya bukan tentang Malioboro,
melainkan jalan lain menuju Malioboro. Sejak beberapa bulan terakhir kita tidak
bisa sembarangan parkir kendaraan bermotor di Malioboro. Trotoar difungsikan
semaksimal mungkin untuk para pejalan kaki. Langkah yang menurut saya tepat. Bahkan
konon para karyawan di seputaran Malioboro pun mesti cari alternatif tempat
parkir lain, di antaranya dengan sewa halaman rumah di kampung seputaran
Malioboro. Tarifnya sekira 50 ribuan untuk satu bulan.
Untuk Anda yang bersepeda motor bisa diparkir di area parkir Abu
Bakar Ali (ujung utara Malioboro, timur Stasiun Tugu), parkir selatan Pasar
Beringharjo, atau di timur Taman Pintar. Sedangkan mobil bisa di Selatan Pasar.
Nah yang jadi soal adalah Bus Pariwisata, jika beruntung maka bisa diparkir di
dekat Bank Indonesia. Hanya saja lahan parkir di sini terbatas. Maka biasanya
Bis diarahkan ke taman parkir Ngabean yang jauhnya sekira 1 km dari Malioboro.
Bisa Anda bayangkan para wisatawan harus berjalan sekira satu
kilometer dari lokasi parkir? Penderitaan mereka belum usai, karena trotoar
yang harus mereka lalui bukan trotoar biasa, melainkan trotoar serbaguna. Sebagian
menjadi lahan parkir, sebagian menjadi emperan toko, sebagian tertutup warung
makan, sebagian lainnya menyempit akibat bangunan yang menjorok ke badan
trotoar. Intinya tidak nyaman blas (sama sekali_red).
Belum lagi, jalan antara tempat parkir Ngabean dengan Malioboro
yang dinamai jalan KH. Ahmad Dahlan, memiliki fungsi ganda sebagai lokasi
parkir kendaraan di badan jalan. Tak tanggung-tanggung terkadang kanan-kiri
jalan dipakai untuk parkir mobil. Maka semakin semrawutlah jalan KH. Ahmad
Dahlan. Terkadang saya berpikir di mana letak kenyamanannya?
Untuk itu monggo kepada Pak Walikota yang baru saja
terpilih, jika tidak mampu membuat nyaman seluruh trotoar di Yogya yang memang
mengenaskan, paling tidak ada prioritas untuk membenahi trotoar yang paling banyak dibutuhkan. Satu di
antaranya adalah trotoar di sepanjang KH. Ahmad Dahlan (antara Pakir Ngabean –
Malioboro).
Kita telah kehilangan gelar sebagai kota sepeda, meskipun di
jalanan kita buatkan jalur sepeda dengan batas warna kuning. Selain sudah
jarang pesepeda toh jalur itu pun sukses untuk ruang parkir mobil dan motor. Jalur
alternatif dan ruang tunggu sepeda juga tidak membantu, karena kita telah
kehilangan para pesepeda. Jangan sampai kita juga kehilangan julukan ‘
Yogyakarta berhati nyaman’.
Tidak ada komentar untuk "Sebelum Yogya Berhenti Nyaman"
Posting Komentar