Gaji, dari Obrolan di Meja Makan Hingga Emperan Bank
[Kronika] –
Berapakah Gaji Anda setiap bulan? Suatu kali mungkin Anda pernah mendapat
pertanyaan serupa. Bagaimana rasanya? Jika pun gaji Anda puluhan juta, tentu
tetap tak gampang menjawabnya, saya pikir itu pertanyaan sensitif dan
menyangkut harga diri J
Tetapi ada saja orang yang menyampaikan demikian tanpa merasa berdosa L. Kadang dalam wawancara
kerja, tentang gaji itu menjadi pertanyaan klasik yang disampaikan pewawancara,
mungkin karena mereka latah. Eh.
www.ekotriyanto.com |
Gaji,
orang bisa urung menikah gara-gara nominal gaji. Padahal saya ingat nasehat
Bang Ahmad Gozali, si perencana keuangan, bukan masalah kerja apa atau gaji
berapa sebagai modal kita menikah. Melainkan kesiapan mental kita untuk
menjemput rizki. Ini lebih penting, sebab kerjaan dan gaji bisa lenyap seketika
jika kita terkena PHK alias dipecat. Tapi mental untuk survive, itu tak mudah
ditaklukan. Itu modal penting. Jadi ingat ketika menikah dulu, saya masih
pengajar honorer dengan bayaran tak sampai kisaran juta, pantas saja banyak
yang enggan menjadi mertua saya. Curhat.
Gaji
memang bisa diobrolkan di mana saja, ketika makan malam atau ketika duduk lesehan
mengantri di depan bank demi mengambil gaji. Pernah suatu kali, seorang pekerja
yang sedang bekerja di rumah bercerita tentang majikan istrinya yang gajinya
mencapai sepuluh juta, maklum suami istri di kementerian yang punya uang dan
dapat remunerasi 100%. Saya tak tahu bagaimana dia tahu nominal gajinya, apakah
mungkin sering melihat slip? Entah.
Sering
pula mendengar cerita seorang bapak, gaji anaknya sekarang sekian puluh juta,
gaji menantunya sekian puluh juta. Punya rumah, mobil dan lain sebagainya. Alangkah
bangganya. Belum promosi jabatan ini-itu yang tentu sangat menggiurkan dan
membanggakan. Bisa jadi membuat seorang berdecak kagum. Lain lagi cerita
tentang anak yang menjadi dosen di universitas ternama, gajinya sampai bulan
kesekian belas. Tentu mengagumkan. Tapi buat saya. Mohon maaf, biasa saja.
Obrolan
tentang gaji memang membuat orang punya reaksi berbeda, ada yang timbul rasa iri,
ada yang kagum, ada yang tak percaya tapi ada pula yang biasa saja. Seperti pernah
saya catat di Ia yang Tak Pernah Salah Alamat, setiap orang telah diberi jatah.
Jika upaya untuk menjemputnya telah dilakukan. Ikhtiar telah dijalankan. Seberapapun
hasilnya itu patut disyukuri. Karena akan ada pertanyaan lanjutan setelah ‘dari mana harta diperoleh’ yakni ‘untuk apa digunakan’
Pertanyaan
nomer dua menjadi bukti kesyukuran itu. Derajat syukur yang secara kasat bisa
kita hitung adalah dengan jumlah alias persenan. Jika seorang penjual mainan
tradisional menginfakkan Rp 20.000 dari empat kali jumatan Rp 5.000 x 4. Setiap
bulannya, sedang penghasilannya Rp 20.000/hari atau Rp 600.000/bulan. Berarti ia
telah mensyukuri dengan 1/30 %. Untuk mengimbangi, seorang dengan penghasilan
30 juta setidaknya menginfakkan 1 juta per bulan. Begitu seterusnya.
Loh tapi
kan harus bayar ini-itu, nyicil ini-itu dan kebutuhan juga lebih banyak dari
penjual mainan tradisional. Kebutuhan dan keinginan kadang memang beda tipis. Jadi
silakan dicarikan solusinya sendiri J
Tidak ada komentar untuk "Gaji, dari Obrolan di Meja Makan Hingga Emperan Bank"
Posting Komentar