Menyemai Senyum dengan Uang Seribu
[ESP] - Idul Adha kali ini sengaja saya
dan keluarga silaturahim ke kampung halaman istri, di Bantul Yogyakarta.
Mengikuti shalat Idul Adha di lapangan samping pabrik gula Madukismo. Sekitar
satu kilometer selatan makam keluarga pendiri pondok pesantren al munawwir
krapyak.
Ada beberapa hal yang bisa saya lihat
perbedaan pelaksanaan shalat di sana, dibanding dengan shalat di desa sendiri.
Pertama, panitia menggunakan semacam tanda panitia (id card/co card). Kedua,
infak ditarik sebelum pelaksanaan shalat, begitu shaf telah penuh dan rapi,
para petugas langsung mengedarkan kantong tempat infak. Ketiga, sebagian besar
jamaah datang ke lapangan dengan jalan kaki, sehingga parkiran motor/mobil
tidak begitu banyak. Keempat, ada pelaporan keuangan penggunaan infak idul
fitri/adha, sehingga jamaah tahu jumlah infak idul fitri lalu dan saldo yang
ada.
Hanya saja saya sempat kaget ketika shalat
selesai dan khutbah dimulai banyak jamaah yang langsung berdiri dan
meninggalkan lapangan. Termasuk beberapa orang di samping saya. Pihak panitia
sebelumnya telah menghimbau agar jamaah menghormati khatib, tetapi tidak
diterangkan bahwa mendengarkan khatib merupakan rangkaian dari ibadah shalat
idul adha.
SENYUM SIMBAH
Usai shalat, putriku Azizah minta
dibelikan makanan. Akhirnya kami belikan satu, Rencana mau beli beberapa
sekalian untuk dibawa pulang, tapi ternyata harga per satuannya Rp 5.000. Kami
pun hanya beli satu. Di samping penjual makanan itu, saya melihat simbah-simbah
yang berjualan mainan tradisional. Usianya sudah sepuh (tua). Maka saya minta
istri untuk membeli salah satu mainan di sana, meski putriku tak memintanya.
Dari kejauhan istri memberikan isyarat
dengan mengacungkan jari telunjuk. Hendak mengabarkan harga. Sepuluh ribu,
pikir saya. Saya pun mengizinkannya membeli mainan itu. Setelah saya dekati,
ternyata harga mainan itu hanya seribu! Istri saya membeli dua buah, dengan
uang lima ribuan. Dan meminta simbah itu untuk tidak usah memberikan
kembaliannya. Saya tidak menyangka, mainan sebagus itu dan memerlukan
kreatifitas dalam membuatnya ternyata harganya cuma seribu.
Lebih dari itu, yang membuat saya lega
adalah senyum simbah itu. Saya senang melihat simbah itu gembira karena
dagangannya laku. Berbagi tidak harus dengan memberi, tapi bisa juga dengan
membeli. Adakah yang tertarik?
Tidak ada komentar untuk "Menyemai Senyum dengan Uang Seribu"
Posting Komentar