Sebuah Catatan untuk Ustadz Budi
Beberapa hari yang lalu, kami bersama beberapa gerakan
dakwah berkesempatan untuk mengikuti acara kajian menyambut ramadhan di salah
satu desa di perbukitan menoreh. Di desa Jatimulyo, Girimulyo, Kulon Progo.
Arahnya sebelah barat Gua Kiskendo, bisa ditempuh sekitar 2 jam dari pusat kota
Yogya.
Acara kajian diisi oleh Ustadz Budi dari Yogyakarta.
Dengan kemampuan beliau dalam bidang agama, terutama dalam penguatan akidah dan
membentengi umat dari pemurtadan dipadukan dengan suara yang lantang, mampu
menghadirkan kehangatan disela hawa dingin yang menyelimuti perbukitan menoreh.
Kegiatan ini dihadiri lebih dari 150 orang dari warga setempat dan kawan-kawan
dari gerakan dakwah.
Hanya saja ada catatan penting yang sayang jika
dilewatkan. Bukan bermaksud menggurui, apa yang disampaikan Ustad Budi secara
subtantif tidak ada masalah. Beliau banyak memberikan motivasi kepada jamaah
untuk tetap berislam dan menjaga akidah dari berbagai godaan. Poin yang menurut
saya kurang pas adalah ketika beliau menyinggung keyakinan umat lain. Misalnya
dengan menyebut sesembahan agama lain dengan ‘nada minor’. Meskipun dihelat di
Masjid tetapi pengeras suara terdengar sampai jauh di sana. Padahal setahu saya
ada sebuah nasihat: “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka
sembah selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui
batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik
pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia
memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. Al Anam :
108)
Selain itu saya juga merasakan betapa tidak nyamannya
jamaah yang hadir sebab mereka berinteraksi dalam keseharian dengan umat lain
(yang sesembahannya disebut-sebut itu). Tentu ini akan menghadirkan kondisi
tidak nyaman. Maka saya tidak heran jika kemudian sound system sengaja
dikecilkan volumenya.
Saya sendiri memiliki pengalaman serupa, dan terpaksa
kami harus mengingatkan pembicara yang saat itu mengisi pengajian di panggung.
Intinya kami minta beliau tidak mengolok-olok agama lain. Karena bisa
menimbulkan ketidakharmonisan di kemudian hari. Bagi si penceramah mungkin
tidak begitu masalah karena seusai ceramah bisa langsung pergi. Tapi bagi kami
yang setiap hari bergaul dengan non-muslim, bertetanggaan, tentu membuat adanya
sekat.
Usai acara di Jatimulyo saya sempat berbincang dengan
penduduk sekitar. Semula jumlah umat muslim sekitar 30%, tetapi lambat laun kini
telah melebihi 50%. Para muallaf terutama adalah kaum muda. Mereka telah
berislam sementara orang tua mereka masih berbeda agama. Bisa dibayangkan jika
mereka tersinggung.
Ini sebuah catatan, agar dalam berdakwah kita
memperhatikan situasi dan kondisi yang ada sehingga dakwah kita bisa
menumbuhkan banyak manfaat dan mengeliminir mudharat yang tiba.
Tidak ada komentar untuk "Sebuah Catatan untuk Ustadz Budi"
Posting Komentar